top of page

DESI ELA PUTRI ANGGRAINI

Mendung di langit Basah di Pipi

  • Writer: Desi Ela Putri Anggraini
    Desi Ela Putri Anggraini
  • Dec 11, 2019
  • 1 min read

Perkara musim baik hujan maupun kemarau, kurasa selalu saja berebut hadir dan mengeksiskan diri sebagai penguasa musim tahun ini. Tak jelas bagaimana memprediksinya, hujan menang menjadi penguasa bulan ini.

Sore itu hujan turun lagi. Rintiknya deras, namun tidak bisa juga dibilang gerimis. Yang pasti, cukup untuk menahanku berteduh barang sebentar agar tak kebasahan. Cukup tergambar bagaimana hujan turun menyapa tanah dan segala makhluk lain yang mungkin menantikannya.

Hujan turun perlahan, sesekali meliuk serentak ditabrak angin. Di tiap-tiap rintiknya, aku melihat wajahmu, berjatuhan menyapa bumi. Sebagian dari rintiknya jatuh menabrak genting, menimbulkan bunyi yang juga terdengar seperti bisikanmu. Samar kudengar bisikan itu sebagai bahasa cinta. Hujan dan segala cerita tentang aku dan kamu.

Jika kutimbang dan kupikir, kamu seperti hujan, yang turun ketika ingin turun. Dan berhenti jika sudah waktunya berhenti. Hujan yang datang atau tanpa aba-aba. Yang datang atau tanpa tanda-tanda.

Tidak salah lagi. Kamu betul-betul seperti hujan, yang barangkali masih punya kerendahan hati untuk memberi tahu, tetapi tak bisa menunggu. Hujan tak pernah mau menunggu.

Hari semakin gelap. Aku bangkit, menutup tirai, lalu menyalakan lampu dan kembali meringkuk di ranjang. Dari luar, terdengar sayup-sayup suara azan.

Hujan sore ini mungkin akan panjang. Seolah ingin bertahan lebih lama untuk menyaksikan matahari ditelan malam. Atau, ia hanya sedang berbaik hati, memberiku alasan untuk tetap di sini. Termenung sendiri mensyukuri kita yang tak sempat saling berjanji.

Sejak dulu, aku sadar betul bahwa pada akhirnya, memang ada yang harus pergi: apakah kesunyian, atau dirimu.

留言


bottom of page